Setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Tidak ada yang bisa lari darinya.
Mati bagi seorang muslim bukanlah merupakan akhir, tetapi awal menuju kehidupan akhirat.
MENTALQINKAN ORANG YANG SAKARATUL MAUT
Mati bagi seorang muslim bukanlah merupakan akhir, tetapi awal menuju kehidupan akhirat.
MENTALQINKAN ORANG YANG SAKARATUL MAUT
a. Pengertian Talqin
Talqin artinya mengajarkan atau mengingatkan kalimat "la ilaha illalloh" kepada orang yang hampir wafat, agar orang tersebut dapat mengikutinya dan kalimat tersebut menjadi akhir ucapannya. Tentu saja dengan suara yang lirih dan tidak terburu-buru agar mudah untuk mengikutinya.
b. Keutamaan Talqin
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Dari Muadz bin Jabal, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Barangsiapa yang akhir ucapannya 'la ilaha illalloh' akan masuk surga". (HR Abu Daud 3116, Ahmad 22387, Al-Hakim 1330)
Tidak seorang hamba pun mengucapkan 'la ilaha illalloh' kemudian ia mati atas kalimat itu kecuali niscaya masuk surga. (HR Muslim)
c. Perintah Talqin Kepada Yang Hampir Wafat
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Talqinkanlah oleh kalian orang yang sedang sekarat dari kalian dengan kalimat 'la ilaha illalloh'." (HR. Ahmad 11006, Muslim 916, Abu Daud 3117, At-Tirmidzi 978, An-Nasai 4/5, Ibnu Majah 1445, Al-Baihaqi dalam Sunan As-Saghir 1034)
Dari Aisyah, ia berkata ; Aku melihat Rasulullah saw ketika menjelang wafatnya, di sampingnya terdapat bejana berisi air, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana itu, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan air dan mengucapkan, 'Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari ghamaratul maut dan sakaratul maut'. (HR At-Tirmidzi, Tuhfah 4/55)
Kata 'mauta' merupakan bentuk jamak dari mait dan mayit. Mait artinya orang yang hampir mati. Mayit adalah orang yang sudah mati. Dan yang dimaksud dengan "mauta" dalam hadis tersebut adalah orang yang sedang sekarat, bukan mayit sebenarnya. (Tuhfah 4/55)
d. Kaifiyah Talqin
o Menghadapkan orang yang hampir wafat ke arah kiblat. Dalilnya ;
عَنْ اَبِيْ قَتَادَةَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَدِِمَ الْمَدِيْنَةَ سَأَلَ عَنِ اْلبَرَاءِِ ابْنِ مَعْرُوْرٍ فَقَالُوْا تُوُفِيَ وَاَوْصَى بِثُلُثِهِ لَكَ يَارَسُوْلَ الله وَاَوْصَى اَنْ يُوَجَّهَ إِلىَ الْقِبْلَةِ لَمَّا احْتَضَرَ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَصَابَ الْفِطْرَةَ وَقَدْ رَدَدْتُ ثُلُثَهُ عَلَى وَلَدِهِ
Dari Abu Qotadah, bahwasanya Nabi saw ketika berada di madinah, ia menanyakan al-Bara bin Ma'ruf, mereka menjawab ; Dia telah wafat dan ia berwasiat sepertiga dari hartanya untukmu ya Rasulullah, serta agar dihadapkan ke kiblat apabila menjelang wafatnya. Maka Nabi saw bersabda ; Ia telah sesuai dengan fitrah. Dan telah saya berikan sepertiga dari hartanya kepada anaknya. (HR al-Hakim 1/353, Al Baihaqi Kubra 3/384)
o Melirihkan suara pada waktu talqin. Dalilnya ;
إذَا ثَقُلَتْ مَرَضَاكُمْ فَلَا تُمْلُوهُمْ قَوْلَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، وَلَكِنْ لَقِّنُوهُمْ فَإِنَّهُ لَمْ يُخْتَمْ بِهِ لِمُنَافِقٍ قَطُّ
Apabila orang-orang yang sakit di antara kalian telah mendekati ajalnya, janganlah kamu membikin jemu dengan perkataan 'la ilaha illalloh', tetapi hendaklah kamu ingatkan mereka. Sebab hanya orang munafiqlah yang akan merasa berat untuk mengucapkan bacaan tersebut. (HR Ibnu Hiban, Nail 4/54)
o Cukup satu kali apabila yang ditalqini sudah mengucapkannya, kecuali kalau dia mengucapkan omongan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnul Mubarak, bahwasanya ketika ia menjelang wafatnya mulailah seorang laki-laki mentalqinkannya dengan kalimat 'la ilaha illalloh' dan ia terus menerus memperbanyak bacaan tersebut. Maka Abdullah bin al Mubarak berkata kepada laki-laki itu ; Jika aku sudah mengucapkan satu kali sungguh aku tetap dalam pendirian selama aku tidak mengucapkan kalimat lain. (HR Tirmidzi, Tuhfah 3/54)
e. Mentalqini Orang Kafir
Dari Abul Musayab, ia berkata ; Ketika Abu Thalib hamper mati, datanglah Rasulullah saw menjenguknya. Pada saat itu Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah bin al Mughirah ada di sampingnya, lalu Rasulullah saw berkata, 'Wahai pamanku ucapkanlah 'la ilaha illalloh', adalah satu kalimat yang aku akan bersaksi untukmu dengannya di sisi Allah. Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah bin al Mughirah berkata, 'Wahai Abu Thalib apakah engkau membenci millah (agama) Abdul Muthalib ? Maka Rasulullah saw mengingatkannya dan mengulangi kalimat "la ilaha illalloh" itu, sehingga Abu Thalib berkata, akhir dari apa yang ia ucapkan kepada mereka bahwa ia (Abu Thalib) tetap pada millah Abdul Muthalib dan menolak untuk mengucapkan la ilaha illalloh. (HR Muslim 1/37)
Berdasarkan hadis ini, mentalqinkan orang kafir itu diperbolehkan, dengan catatan talqin kepada orang kafir itu maksudnya dakwah agar ia masuk islam sebelum wafatnya. Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa yang dimaksud 'mauta' (sedang sekarat) di antara kalian itu adalah dari kalangan kaum muslimin. Adapun yang sekarat dari non muslim, adalah menawarkan atau mengajak kepadanya untuk masuk islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw kepada pamannya (Abu Thalib). (Subulus Salam 2/90)
ADAB KETIKA SESEORANG WAFAT
a. Mengucapkan Kalimat Istirja (inna lillah wa inna ilaihi raji'un)
'Yaitu orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu musibah. Mereka berkata ; Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali. Mereka adalah orang-orang yang diberikan sanjungan dan rahmat dari Tuhan mereka (di dunia dan akhirat) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS al-Baqarah 156-157)
b. Menutupkan Mata Jenazah
Dari Umu Salamah, ia berkata : Rasulullah saw melayat jenazah Abu Salamah dalam keadaan matanya terbuka, lalu Rasulullah saw memejamkannya dan bersabda, "Sesungguhnya ruh apabila dicabut diikuti oleh mata." (HR. Ahmad 27078, Muslim 920, Abu Daud 3118, Ibnu Majah 1454, Al-Baihaqi 1039)
Dari Syadad bin Aus, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Apabila kalian menghadiri jenazah, maka pejamkanlah matanya, kerena mata itu mengikuti ruh." (HR Ahmad 17266, Ibnu Majah 1455, Al-Hakim 1332)
c. Menutup Jenazah Dengan Kain Dan Mengiblatkannya
Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw ketika wafatnya ditutupi dengan kain hibarah. (HR Mutafaq Alaih)
Dari Salma ibunya Abu Rafi', bahwasanya Fatimah putri Rasulullah saw ketika wafatnya dihadapkan ke kiblat dan berlunjur ke sebelah kanannya. (HR. Ahmad, Nailul Authar 4/47)
Dibaringkannya jenazah hendaklah ke sebelah kanan dengan wajahnya dihadapkan ke arah kiblat. Caranya bisa diganjal dengan bantal kecil.
d. Memberitahukan Atau Mengumumkan Kematian Jenazah
Dari Hudzaifah, bahwasanya ia berkata ; Apabila aku mati, maka janganlah kalian mengabarkannya pada seorangpun, karena sesungguhnya aku khawatir akan termasuk kepada an-na'yu, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw melarang an-na'yu itu. (HR Ahmad, Ibnu Majah Dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi saw, beliau bersabda ; Jauhilah an-na'yu karena sesungguhnya an-na'yu itu amal jahiliyah. (HR Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw mengumumkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, maka beliau membawa mereka ke mushala (tempat terbuka untuk shalat), lalu mengimami mereka dan bertakbir empat kali takbir. (HR al-jama'ah)
Berdasarkan keterangan tersebut, mengumumkan atau memberitahukan kematian seseorang agar dapat bersombong diri dengan banyaknya yang melayat dan turut berduka cita adalah haram. Sedangkan memberitahukan kematian seseorang dengan tujuan terlaksananya hukum-hukum pengurusan jenazah yang disyariatkan adalah wajib kifayah.
e. Menyegerakan Pengurusan Jenazah
Dari Ali, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Tiga perkara wahai Ali yang tidak boleh ditunda-tunda ; shalat apabila tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, janda apabila sudah ada yang menanggungnya. (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Hiban)
Sesungguhnya tidak layak bagi jasad seorang muslim untuk tertahan di tengah keluarganya. (HR Abu Daud dan al-Baihaqi)
f. Membayar Utang Dan Menunaikan Wasiat Sebelum Dibagikan Warisnya
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda ; jiwa seorang mukmin itu terikat dengan utangnya sehingga dibayarkan. (HR Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar, utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati dan ia berniat membayar utangnya, maka akulah (nabi) walinya. Dan barangsiapa mati dan tidak berniat membayar utangnya, maka itulah orang yang diambil kebaikan-kebaikannya, pada hari yang tidak ada dinar ataupun dirham (akhirat). (HR Thabrani)
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS an-Nisa 11)
MEMANDIKAN JENAZAH
a. Hukum Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah hukumnya wajib kifayah (fardu kifayah), artinya wajib dilaksanakan cukup oleh sebagian kaum muslimin dan mustahil dapat dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.
b. Fadhilah Memandikan Jenazah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَأَدَّى فِيهِ الْأَمَانَةَ وَلَمْ يُفْشِ عَلَيْهِ مَا يَكُونُ مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ قَالَ لِيَلِهِ أَقْرَبُكُمْ مِنْهُ إِنْ كَانَ يَعْلَمُ فَإِنْ كَانَ لَا يَعْلَمُ فَمَنْ تَرَوْنَ أَنَّ عِنْدَهُ حَظًّا مِنْ وَرَعٍ وَأَمَانَةٍ-احمد-
Dari Siti Aisyah ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang memandikan jenazah lalu ia menunaikan amanat (melakukan syariat yang benar) dan ia tidak menyebarkan apa yang ada (aib) pada si jenazah ketika memandikannya, maka ia keluar (bersih) dari dosa-dosanya seperti pada hari dilahirkan oleh ibunya. Beliau berkata : alangkah bagusnya (yang memandikan itu) kerabatnya jika bisa, apabila dia tidak bisa maka boleh siapa saja yang bisa dengan teliti dan bisa menjaga amanat.” (HR. Ahmad)
c. Orang Yang Layak Memandikan Jenazah
Orang yang layak memandikan jenazah adalah muslim atau muslimah yang baligh, mahram atau kerabat, dan orang yang memiliki ilmu tentang cara memandikan jenazah yang sesuai dengan syariat dan mengerti adab-adabnya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ مِتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ –احمد-
Dari Siti Aisyah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : “Kalau kamu mati sebelumku, aku yang akan memandikanmu, mengkafanimu, menshalatimu, dan menguburkanmu.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Daraquthni)
Berdasarkan keterangan tersebut, lebih baik yang memandikan jenazah itu adalah istrinya, suaminya, anak-anaknya, atau kerabat dekatnya, apabila mereka semua mampu untuk melakukannya. Namun apabila tidak sanggup, serahkanlah kepada ahlinya yang teliti dan bisa menjaga amanat.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Hendaklah yang memandikan jenazah itu orang yang amanat.' (HR Ibnu Majah)
d. Adab Dan Cara Memandikan Jenazah
o Dimulai dari bagian anggota badan sebelah kanan dan anggota wudunya
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا غَسَّلْنَا بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا وَنَحْنُ نَغْسِلُهَا ابْدَءُوا بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا-البخاري-
Dari Umu Athiyah r.a ia berkata, ketika kami memandikan jenazah Putri Nabi saw (Jaenab), beliau berkata kepada kami : “Mulailah oleh kalian dari bagian kanannya dan anggota wudunya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah)
o Tidak boleh berlaku kasar pada jenazah
Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda ; Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang yang masih hidup. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah)
o Tidak berbicara yang buruk apalagi tentang jenazah
Dari Aisyah, ia berkata ; Nabi saw bersabda ; Janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah mati, karena mereka sudah sampai kepada apa yang mereka kerjakan terdahulu. (HR Bukhari, An-Nasai. Al-Hakim)
Dari Umu Salamah, ia berakta : Rasulullah saw bersabda ; Apabila kalian melawat orang yang sakit atau mati, maka ucapkanlah yang baik. Karena malaikat mengaminkan apa yang kalian aucapkan. (HR Tirmidzi 3/307)
o Memintal rambut jenazah perempuan yang panjang
Dari Umu Athiyah, ia berkata ; Rasulullah saw bersabda ; Mandikanlah ia (jenazah Jaenab) dengan bilangan yang ganjil, 3x, 5x, 7x, atau lebih dari itu jika kalian pandang perlu. Dan Umu Athiyah berkata, kami memintal rambutnya sebanyak tiga pintalan dan kami menempatkannya di belakang (punggungnya). (Mutafaq Alaih)
e. Mandi Setelah Memandikan Jenazah
Barangsiapa memandikan jenazah maka mandilah, dan barangsiapa mengusung jenazah maka berwudulah. (HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Hiban, Ahmad)
Tidak terdapat kewajiban mandi atas kalian apabila menadikan jenazah, karena sesungguhnya mayit itu bukan najis. Maka cukup bagi kalian mencuci tangan kalian. (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Dari Ibnu Umar, kami memandikan mayit, di antara kami ada yang mandi dan ada pula yang tidak mandi. (HR Ad-Daraquthni)
Jadi, mandi setelah memandikan jenazah hukumnya sunat, demikian pula berwudu setelah mengusung jenazah. Tetapi bagi yang tidak mandi, paling tidak mencuci tangan.
MENGAPANI JENAZAH
Mengafani jenazah adalah ibadah. Artinya harus berdasarkan aturan yang disyariatkan. Setelah selesai pemandian jenazah, maka wajib hukumnya mengafani jenazah, dan tentu saja wajib kifayah karena tidak bisa dilakukan bersama-sama oleh semua orang.
Dari Khabab bin Al-Arat, bahwa Mus'ab bin Umair terbunuh dalam perang uhud. Dia tidak meninggalkan apa-apa kecuali sepotong baju. Bila kami membungkus kepalanya, terlihat kakinya, dan bila kakinya terbungkus, kepalanya terlihat. Kemudian Rasulullah saw memerintah kami agar menutupi kepalanya (dengan baju itu), serta memerintah (kami) menutupi kakinya dengan rumput hijau yang harum baunya (idkhir). (HR. Al-Jamaah, kecuali Ibnu Majah)
Dengan keterangan ini, jelas bahwa mengafani jenazah itu hukumnya wajib. Sehingga apabila tidak ada (darurat), apapun dapat digunakan, seperti rumput dan yang lainnya.
a. Sifat Dan Jenis Kain
Kain kafan sebaiknya berwarna putih, tetapi tidak dilarang menggunakan kain-kain yang berwarna selain itu. Kemudian tidak mewah dan tidak merendahkan dalam kain kafan, termasuk tidak berlebihan dan tidak kurang (sempit) dalam ukuran.
Dari Ibnu Abas, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Pakailah pakaianmu yang putih, sebab itu sebaik-baik pakaianmu. Dan kafanilah jenazah kalian dengan kain itu." (HR Tirmidzi 994, An-Nasai 4/34)
Dari Ali, ia berkata ; Janganlah kamu berlbihan tentang kain kafan, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda ; Janganlah kalian saling berlebih-lebihan dalam kain kafan, karena itu pakaian yang akan cepat rusak. (HR Abu Daud)
b. Adab Ketika Mengafani Jenazah
Pada dasarnya mengafani jenazah sama dengan memandikannya, yaitu dalam hal berlaku halus, santun, tidak kasar, dan tidak menyakiti. Baik dalam perbuatan ataupun dalam perkataan, harus amanah, serta berilmu tentang mengafani jenazah.
Dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Jika kamu diserahi mengurus jenazah saudaramu, maka hendaklah memilih kafan yang paling baik." (HR. Ibnu Majah 1487, At-Tirmidzi 995)
c. Ukuran Kafan Untuk Jenazah Laki-Laki Dan Perempuan
Pada dasarnya kain kafan untuk laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni tiga lembar. Namun untuk perempuan diperbolehkan hanya dengan dua lembar kain, tetapi ditambah dengan tiga macam pembungkus lainnya, yaitu khimar (kerudung), izar (sarung), dir'un (baju kurung).
Dari Laila binti Qanif Ats-Tsaqafiyah, ia berkata ; saya adalah di antara orang yang turut memandikan Umu Kultsum, putri Rasulullah saw di saat wafatnya. Maka yang pertama disodorkan oleh Rasulullah saw kepada kami adalah kain sarung, baju kurung, kerudung, kemudian selimut, lalu dikafani dengan pakaian lain. Lalu ia (Umu Laila) berkata, sedangkan Rasulullah saw duduk di dekat pintu membawa kain kafan dan menyodorkan kepada kami lembar demi lembar. (HR Ahmad, Abu Daud)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ini menunjukkan bahwa pembicaraan yang pertama adalah bahwasanya perempuan itu dikafani dengan lima potongan pakaian dan kain.(Fathul Bari 3/375)
Kata-kata Umu Athiyah yang berujar, maka kami mengafaninya dengan lima pakaian dan kain, serta kami mengerudunginya, sebagaimana kami mengerudungi yang masih hidup (ibid 3/375)
Keterangan tentang lima potong pakaian dan kain bagi jenazah perempuan ini tentulah tidak menunjukkan wajib. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua cara yang telah diterangkan di atas, yaitu penggunaan tiga lembar atau lima lembar berupa kain panjang dan lebar, dua lembar ditambah dengan kerudung, baju kurung serta semacam sarung (maksi), keduanya dapat dilakukan (jawazul amrain). Adapun kain kafan untuk jenazah laki-laki cukup hanya dengan tiga lembar kain yang layak dan memadai, baik panjang maupun lebarnya.
PRAKTIK MEMANDIKAN DAN MENGAFANI JENAZAH
a. Beberapa Persiapan
o Bangku, batang pohon pisang atau yang yang lainnya untuk membaringkan jenazah.
o Ember, gayung/ slang, air, sabun mandi, handuk, kamper, dan kamper yang sudah dihaluskan dan dicampur sedikit air.
o Kain penutup aurat.
o Kain kafan tiga lembar, panjang dan lebar dilebihkan dari ukuran dan tinggi badan jenazah untuk diikat di bagian atas kepala dan kaki, biasanya sepanjang 20 cm sampai 30 cm.
o Untuk jenazah perempuan boleh ditambah kain kafan dalam bentuk semacam kerudung, baju kurung/ padang dan kain sarung (maksi).
o Siapkan pula empat utas tali yang panjangnya disesuaikan untuk pengikat di bagian ujung kepala, ujung kaki, lutut dan badan di bagian sikut.
o Tikar atau karpet.
o Minyak wangi.
o Bantal kecil
b. Tatacara Memandikan Jenazah
o Jenazah dibaringkan di atas bangku atau batang pohon pisang yang telah disediakan.
o Buka semua pakaiannya dengan hati-hati (tidak kasar), apabila susah dibuka karena jenazah sudah sangat kaku, tidak mengapa membuka pakaiannya pakai gunting.
o Jaga dan pelihara auratnya (tutupi sehingga mencucinya di bawah kain penutup).
o Mulailah dengan mencuci bagian badan sebelah kanannya dan anggota wudunya.
o Mandikan dengan lembut (tidak kasar dan tidak ada tekanan-tekanan yang menyakiti jenazah) seluruh badannya sampai bersih.
o Setelah bersih (biasanya ditandai dengan kesatnya tubuh jenazah) dihanduki sampai kering.
o Bersihkan pula telinga dan hidungnya dengan hati-hati.
o Lumuri atau olesi seluruh badannya dengan kamper halus yang sudah dicampur air.
o Untuk jenazah perempuan yang berambut panjang, kepanglah rambutnya menjadi tiga pintalan, yaitu bagian atas, bagian kiri, dan bagian kanannya, lalu geraikan ke belakang punggungnya.
o Ketika dipindahkan ke tempat pengafanan hendaklah jenazah dalam keadaan terjaga auratnya.
c. Tatacara Mengafani Jenazah
o Hamparkan tikar atau karpet.
o Hamparkan tiga rangkap kain kafan yang telah disediakan di atas tikar atau karpet.
o Empat utas tali dapat disiapkan di bawah kain kafan dengan posisi yang disesuaikan dengan panjangnya jenazah, yaitu di atas kepala, di bawah kaki, lutut, dan badan daerah sikut.
o Dibubuhkan kamper halus atau kasar terutama di bagian-bagian lipatan dan yang saling bersentuhan, dan boleh ditambah dengan wangi-wangian.
o Posisi tangan jenazah tidak mesti sidekap, lihatlah bagaimana baiknya.
o Bungkuskan (balutkan) kain kafan ke seluruh badannya termasuk mukanya dengan kencang (tidak longgar) agar tidak mudah lepas atau melorot dan sebelum diikat tarik kedua ujung kain kafan itu.
o Kemudian ikutilah dengan tali yang telah disediakan.
o Silakan ditambah wewangian secukupnya.
o Jika bagian muka dibuka untuk sementara, bila ada pihak keluarga yang hendak melihatnya, maka tutupilah dengan kain.
d. Tambahan
o Sebelum dimandikan, dikafani dan dishalati usahakan jenazah menghadap kiblat, yaitu dengan melentangkan jenazah ; dengan kepala di sebelah utara dan kaki ke sebelah selatan.
o Pada waktu dishalati, jenazah diganjal bagian kiri badannya agar menghadap kiblat.
o Pada waktu dikafani sebaiknya begian-bagian lipatan dan yang sering bersentuhan diberi kapas agar terhindar dari kelecetan.
MENYALATI JENAZAH
a. Hukum Shalat Jenazah
Shalat jenazah hukumnya wajib kifayah. Hal ini berdasarkan perintah rasulullah saw kepada para sahabat, ketika ada sahabat yang wafat di perang khaibar. Perintah dalam hadis tersebut tidak menunjukan wajib 'ain karena sudah dibatasi oleh shalat yang lima waktu sehari semalam. Dan cukup shalat jenazah ini dilakukan oleh sebagaian kaum muslimin.
b. Keutamaan Shalat Jenazah
Barangsiapa mengikuti pengurusan jenazah kemudian menyalatinya, maka ia akan mendapat satu qirot. Dan barangsiapa mengikutinya sampai dikuburkan maka baginya dua qirot. Ditanyakan, apakah dua qirot itu ? Beliau menjawab, Seperti dua gunung yang besar. (HR Mutafaq Alaih)
c. Pengaruh Jumlah Yang Menyalati
Dari Ibnu Abas, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : "Tidak ada satupun seorang muslim yang wafat, kemudian dishalatkan jenazah itu oleh sebanyak 40 orang laki-laki yang tidak musyrik kepada Allah sedikitpun, pasti Allah akan mengabulkan permohonan mereka kepada jenazah itu." (HR Ahmad 1/290, Abu Daud 3/675)
d. Melaksanakan Shalat Jenazah Di Mesjid
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, sesungguhnya ketika Saad bin Abi Waqos wafat, Aisyah berkata, Masukkanlah jenazah itu ke mesjid sehingga aku dapat menyalatinya. Tetapi ternyata perintah itu ditolak. Maka Aisyah berkata, Demi Allah, Sesungguhnya Rasulullah saw menyalati jenazah dua anak baidha, yaitu Suhail dan saudaranya di dalam mesjid. (HR Muslim 1/248)
Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis, baik ketika hidupnya ataupun sesudah menjadi jenazahnya. (HR Bukhari, Al-Fath 3/161)
e. Shalat Jenazah Di Atas Kuburan
Dari Abu Hurairah, bahwasanya seorang perempuan berkulit hitam yang biasa berada di mesjid, ia senantiasa menjaga kebersihan mesjid, ia meninggal, sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahuinya, lalu pada suatu hari ia menyebutnya dan bertanya, apa yang dilakukan orang itu ? Maka sahabat menjawab, Ia sudah wafat. Sabda Rasulullah saw, mengapakah kalian tidak memberitahukan kepadaku ? Lalu Rasululah saw berkata, Tunjukkanlah kuburannya kepadaku. Lalu mereka menunjukkannya, maka Rasulullah saw mendatangi kuburannya dan melakukan shalat di atasnya. (HR Bukhari dan Muslim)
f. Shalat Ghaib
Shalat ghaib adalah shalat jenazah tanpa adanya jenazah. Pada zaman Rasulullah saw shalat ghaib hanya pernah terjadi satu kali, yaitu yang dilakukan oleh beliau dengan mengajak para sahabatnya untuk menyalati seorang sahabat yang jaraknya jauh. Ia adalah Ashamah, seorang raja di negeri Habasyah. Rasulullah saw pun mengetahui kewafatannya bukan karena berita dari manusia yang sampai kepadanya, melainkan karena wahyu yang diterimanya.
Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Nabi mengumumkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, kemudian beliau keluar membawa para sahabat ke mushala (tempat terbuka). Maka beliau bershaf memimpin mereka dan beliau takbir empat kali takbir. (HR Muslim 1/380)
Dari Imron bin Hushain, Sesungguhnya Rasulullah saw berabda, Sesungguhnya saudaramu an-Najasyi telah wafat, karena itu berdirilah dan shalatlah kalian atasnya. Imron berkata, maka kami berdiri lalu bershaf di belakang beliau sebagaimana bershaf atas jenazah (yang ada di hadapan), dan kami menyalatinya sebagaimana shalat atas jenazah. (HR Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai)
Berdasarkan keterangan tersebut, shalat ghaib dapat dilakukan apabila seorang muslim wafat dan diyakini tidak ada yang menyalatinya. Kemudian orang tersebut punya jasa yang besar untuk islam dan kaum muslimin.
g. Shalat Atas Jenazah Yang Belum Akil Baligh
Dari Aisyah, ia berkata, Ibrahim putra Nabi saw wafat pada usia delapan belas bulan dan Rasulullah saw tidak menyalatinya. (HR Ahmad dan Abu Daud)
Meskipun demikian para ulama menjelaskan, bahwa dengan tidak dishalatinya tidak berarti menghilangkan hukum kebolehan shalat jenazah bagi mereka.
h. Shalat Atas Jenazah Bayi Yang Wafat Dalam Kandungan
Dari Aisyah, didatangkan kepada beliau seorang jenazah anak kecil dari anak-anak Anshar (yang mati dalam kandungan), maka Nabi menyalatinya. Aisyah berkata, kebahagianlah, ia seekor burung dari burung-burung surga, ia tidak beramal kejelekan dan belum mengetahuinya. Rasulullah saw bersabda, tidak adakah hal lainnya wahai Aisyah ? Allah telah menciptakan surga dan menciptakan penghuninya dan Allah menciptakan mereka di dalam tulang-tulang punggung bapak mereka. Dan Allah menciptakan penghuninya, dan menciptakan mereka di dalam tulang-tulang punggung bapak mereka. (HR Ahmad, Muslim dan Nasai)
Tidak didapatkan keterangan khusus yang menerangkan kaifiyah shalatnya, oleh karena itu kembali kepada shalat jenazah secara umum. Namun ada keterangan, didoakan orang tuanya dengan magfirah dan rahmat. Artinya boleh pakai tambahan doa tersebut dalam shalat jenazahnya.
i. Shalat Atas Jenazah Yang Fasik
Yang dimaksud dengan fasik adalah orang yang maksiat di jalan Allah. Seperti mencuri, bunuh diri, berzina dan lain-lain.
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata ; Bahwasanya seorang laki-laki dari muslimin meninggal di khaibar, dan hal itu diterangkan kepada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, Shalatlah atas kawan kalian ini. Ia berkata, maka berubahlah wajah para sahabat disebabkan hal itu. Ketika Rasulullah saw melihat yang terjadi pada mereka, beliau bersabda, Sesungguhnya kawan kalian ini berkhianat fi sabilillah. Maka kami memeriksa perhiasannya, dan ternyata kami dapatkan padanya mutiara dari perhiasan yahudi senilai dua dirham. (HR Ahmad 6/96)
Dari Jabir bin Samurah, Sesungguhnya seseorang telah bunuh diri dengan panah untuk memburu. Maka Rasulullah saw bersabda, adapun aku tidak akan menyalatinya. (HR an-Nasai 4/396)
Dari Jabir, sesungguhnya seseorang dari kaum Aslam telah datang kepada Nabi dan mengakui suatu perzinaan, maka Nabi berpaling darinya sehingga orang tersebut bersaksi sampai empat kali atas (perzinaan) dirinya. Maka Nabi bertanya, Apakah engkau gila ? Ia menjawab, Tidak. Apakah engkau pernah beristri ? Ia menjawab, Ya. Maka Rasulullah saw memerintahkan agar orang itu dirajam di mushala (tempat terbuka). Ketika batu itu menderanya, larilah ia. Maka ditangkaplah orang itu lalu dirajam sampai mati. Maka Nabi bersabda, 'untuk satu kebaikan'. Dan Nabi pun menyalatinya. (HR Bukhari, Al-Fath 12/155)
j. Kaifiyah Shalat Jenazah
Shalat jenazah hanya terdiri dari satu qiyam tanpa ruku dan sujud, empat kali takbir dan empat kali mengangat tangan. Pada takbir pertama ; membaca ta'awuzh, al-fatihah, surat dan shalawat. Adapun pada takbir-takbir selanjutnya membaca doa-doa. Pada takbir-takbir itu kita hanya dibolehkan memilih doa-doa yang telah dicontohkan. Adapun masalah penempatan doa-doa pada takbir ke berapa dari tiga takbir itu, tidak terdapat keterangan yang menentukannya. Dengan demikian kita dapat menempatkan doa-doa itu pada takbir ke berapa pun yang kita kehendaki.
o Posisi shalat jenazah
Posisi shalat jenazah maksudnya posisi orang yang menyalati jenazah dan posisi jenazah pada saat dishalatkan. Pada dasarnya posisi imam (ketika berjamaah) atau munfarid dalam shalat jenazah adalah sama. Posisi imam pada shalat jenazah laki-laki, adalah searah kepala jenazah. Sedangkan bila jenazahnya perempuan, searah dengan perut atau pertengahan jenazah.
Apabila jenazah yang dishalati lebih dari seorang, maka ada beberapa kemungkinan, antara lain ;
§ Apabila jenazah semuanya terdiri dari laki-laki, hendaklah jenazah itu disejajarkan kepala-kepalanya, dan hendaklah jenazah yang semasa hidupnya paling bayak hafal dan faham al-quran ditempatkan paling depan dekat imam. Jika sama dalam hafalan dan pemahaman al-qurannya, maka hendaklah yang paling banyak paham hadis. Jika masih sama, hendaklah yang paling tua.
§ Apabila jenazahnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka hendaklah jenazah itu disejajarkan kepalanya, dan jenazah laki-laki disimpan paling depan dekat imam.
§ Apabila jenazah itu terdiri dari anak laki-laki dan perempuan dewasa, maka laki-laki tetap di depan meskipun anak kecil.
§ Apabila jenazahnya wafat dalam keadaan nifas, sama saja posisi imam seperti menyalatkan yang tidak nifas.
Mengenai posisi imam dan makmum dalam shalat jenazah pada dasarnya sama dengan shalat yang lainnya. Apabila makmumnya hanya satu orang, maka berdiri di sebelah kanan imam. Dan apabila makmumnya lebih dari satu orang, maka berdiri di belakang imam dan menjadikan imam ditengahnya.
Dari Abu Ghalib Al-Khayat, ia berkata, saya menyaksikan Anas bin Malik menyalati jenazah laki-laki, maka ia berdiri di dekat kepalanya. Ketika jenazah itu diangkat, didatangkanlah jenazah perempuan, maka ia shalat dan berdiri di dekat perutnya. Pada waktu itu di antara kami hadir al-Ala bin Zaid Al Adawi, maka ketika ia melihat perbedaan berdirinya Anas atas jenazah laki-laki dan perempuan, ia bertanya, Wahai Abu Hamzah, demikianlah berdirinya Rasulullah saw pada jenazah laki-laki seperti berdirinya anda, dan pada jenazah perempuan seperti berdirinya anda, ia menjawab, benar. (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, saya shalat di belakang Nabi saw di atas jenazah perempuan yang meninggal pada waktu nifas. Maka Nabi berdiri pada salatnya itu searah tengah-tengah. (HR al-Jamaah)
o Takbir empat kali sambil mengangkat tangan
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِيِّ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Dari Jabir, dari Nabi saw, bahwa beliau pernah shalat jenazah kepada ash-hamah (najasyi), beliau takbir 4 kali." (HR Bukhari 1/231)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عَلَى كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ مِنْ تَكْبِيْرِ الْجَنَازَةِ
Dari Ibnu Umar, bahwasanya ia mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir (shalat) jenazah. (HR al-Baihaqi Kubra 4/44)
o Membaca ta'awudz sebelum fatihah
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS an-Nahl 98)
Berdasarkan ayat tersebut, jelas diperintahkan membaca ta'awuzh setiap akan membaca al-uran. Membaca ftihah dalam shalatjenazah tercakup oleh perintah dalam ayat tersebut.
o Membaca fatihah, surat dan shalawat
Dari Abu Umamah bin Sahl, dia pernah diberitahukan oleh salah seorang sahabat Rasulullah saw, bahwa sunah dalam shalat jenazah, (yaitu) imam takbir, terus membaca surat fatihah, setelah takbir pertama dengan bacaan yang sir dalam hati, kemudian membaca shalawat kepada Nabi saw, dalam takbir yang lainnya (kedua, ketiga dan keempat) membaca doa. Dan tidak membaca apa-apa lagi selain yang tadi, kemudian membaca salam sir pada dirinya. (HR Asy-Syafii dalam musnadnya)
Dari Thalhah bin Abdillah bin Auf, ia berkata : Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu Abas, beliau membaca fatihah dan surat, dan beliau menjaharkannya sehingga terdengar oleh kami. Ketika selesai, saya meraih tangan beliau dan bertanya kepada beliau mengenai hal itu. Beliau menjawab, itu adalah sunah dan benar. (HR an-nasai 4/377)
Berdasarkan keterangan tersebut, membaca surat setelah al-fatihah dalam shalat jenazah merupakan sunah rasul yang hukumnya sunat. Dan tempat membaca shalawat adalah masih pada takbir yag pertama, yaitu setelah bacaan al-fatihah atau setelah surat lainnya.
o Doa-doa dalam shalat jenazah
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ
Dari Auf bin Malik, ia berkata, saya telah mendengar Nabi saw ketika menyalati jenazah, beliau mengucapkan, 'Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah ia, maafkanlah ia, afiatkanlah ia, mulyakanlah tempat persinggahannya, luaskanlah tempat masuknya, dan cucilah ia dengan air, salju dan embun, dan bersihkanlah dari kesalahan-kesalahannya, sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari noda. Dan gantilah rumahnya dengan yang lebih baik dari rumahnya di dunia, keluarganya, pasangannya lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan jagalah dari fitnah quburnya serta siksa neraka'. (HR. Muslim dan Ahmad)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi saw apabila shalat atas jenazah, beliau membaca, 'Ya Allah, ampunilah yang masih hidup di antara kami, yang telah mati, yang telah dewasa, yang masih kecil, laki-lakinya, perempuannya, yang hadir dan yang tidak hadir di antara kami'. Ya Allah, siapa yang engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dalam keadaan iman. Dan barangsiapa di antara kami yang engkau wafatkan, maka wafatkanlah dalam keadaan islam. Ya Allah, janganlah engkau haramkan atas kami pahalanya dan jangan engkau menyesatkan kami setelah itu. (HR. Abu Daud)
قَالَ شَهِدْتُ مَرْوَانَ سَأَلَ أَبَا هُرَيْرَةَ كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى الْجِنَازَةِ فَقَالَ مَعَ الَّذِي قُلْتُ قَالَ نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّهَا وَأَنْتَ خَلَقْتَهَا وَأَنْتَ هَدَيْتَهَا لِلْإِسْلَامِ وَأَنْتَ قَبَضْتَ رُوحَهَا وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِسِرِّهَا وَعَلَانِيَتِهَا جِئْنَا شُفَعَاءَ فَاغْفِرْ لَهَا
Dari Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw pada suatu shalat jenazah mengucapkan, 'Ya Allah, engkaulah tuhannya, engkaulah yang telah menciptakannya, engkau yang telah memberinya hidayah, engkaulah yang telah menggenggam ruhnya, dan engkau maha tahu akan rahasianya dan lahirnya, kami datang memohonkan syafaat, ampunilah ia'. (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : "Apabila kalian shalat jenazah, maka hendaklah kalian berdoa dengan ikhlas." (HR Abu Daud 3199)
Berdoa dalam shalat jenazah untuk takbir kedua, ketiga, dan keempat kita boleh memilih, dari doa-doa yang dibaca Rasulullah saw. Baik jenazahnya laki-laki ataupun perempuan tidak ada perbedaan sedikitpun. Lafazh doa "allohummagfilahu" domir "hu" nya kembali kepada "mayit". Lafazh doa "allohumma anta rabbuha" domir "ha" nya kembali kepada "jenazah".
Bila doanya tidak bisa atau tidak hafal dengan bahasa arab, boleh dengan bahasa apa saja yang kita pahami. Karena dalam hadis Rasul menyatakan "akhlisud-dua" ; ikhlaskanlah doa kalian. Namun tentu saja doa yang dilakukan Rasulullah saw lebih baik untuk diikuti.
o Salam ke sebelah kana dank e sebelah kiri
Dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya Rasulullah saw pernah shalat jenazah, kemudin beliau salam ke sebelah kanannya, kemudian ke sebelah kirinya, assalamu 'alaikum warohmatullah, assalamu 'alaikum warohmatullah, sehingga terlihat putih pipinya. (HR al-Khomsah)
& MENGANTAR JENAZAH KE KUBURAN
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barangsiapa yang menyalatkan jenazah, tetapi tidak mengantarkannya ke kuburan, maka baginya kebaikan satu qirot, dan bila mengantarkannya, baginya kebaikan dua qirot." (HR Muslim 2/611)
إِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا حَتَّى تُخَلِّفَكُمْ
Jika kamu sekalian melihat jenazah lewat, maka hendaklah kamu berdiri sampai jenazah meninggalkanmu. (HR Bukhari 1/227)
عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya dia pernah melihat Nabi saw, Abu Bakar dan Umar berjalan di depan jenazah. (HR al-Khomsah)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
Dari Umu 'Athiyah, ia berkata : Kami dilarang mengantarkan jenazah, tetapi (beliau) tidak memberatkannya. (HR Bukhari 1/221, Abu Daud 3151)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَقْعُدْ حَتَّى تُوضَعَ
Dari Abu Said, dari Nabi saw (beliau bersabda) : Bila kalian melihat jenazah (lewat), maka hendaklah berdiri, dan barangsiapa yang mengantarkan ke kuburan, janganlah duduk sebelum jenazah itu selesai dikuburkan. (HR Bukhari 1/228)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : Tidak boleh mengantarkan jenazah disertai dengan suara ribut, juga tidak boleh mengantarkan jenazah dengan membawa api (kukus kemenyan misalnya). (HR Abu Daud 3171)
Kata Abu Burdah, "Ketika Abu Musa akan wafat, ia berpesan ; bila akan diantarkan ke kuburan jangan sekali-kali disertai dengan kukus. Orang-orang bertanya, apakah kamu pernah mendengar hal itu dari Rasulullah saw ? Betul, pernah aku mendengar darinya, jawab Abu Musa." (Aunul Ma'bud 8/453)
& MENGUBURKAN JENAZAH
a. Hukum Menguburkan Jenazah
Menguburkan jenazah hukumnya wajib kifayah, baik jenazah muslim ataupun non muslim. Rasulullah saw memerintahkan sekaligus mencontohkan praktek penguburan tersebut.
b. Segera Dalam Penguburan
Dari Ali, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, 'Tiga perkara wahai Ali, yang tidak boleh ditunda-tunda ; shalat apabila tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, janda apabila sudah dapat yang menanggungnya. (HR Ahmad, Al-Fath 7/99)
c. Jenazah Muslim Di Pekuburan Muslimin
Rasulullah pernah mendatangi pekuburan muslimin, dan bersabda, mereka mendapatkan kebaikan yang banyak. Lalu beliau mendatangi pekuburan musyrikin, dan bersabda, telah melewati (luput) dari mereka kebaikan yang banyak. Beliau bersabda demikian tiga kali, lalu beliau mendatangi pekuburan muslimin dan bersabda, telah menyusul mereka kebaikan yang banyak. Beliau mengucapkannya tiga kali. (HR Ath-Thabrani, Al-Kabir 2/43)
Hadis ini menunjukkan bahwa pekuburan muslimin tidak boleh disatukan dengan pekuburan non muslim. Dan jenazah muslim tidak boleh dikubur di pekuburan non muslim.
d. Ketentuan Kuburan Muslim
o Menghadap kiblat
Menghadap kiblat di sini maksudnya kepala jenazah mengarah ke utara dan kaki mengarah ke selatan.
عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ قَالَ كُنْتُ مَعَ أَنَسٍ فِيْ جَنَازَةٍ فَأَمَرَ بِالْمَيِّتِ فَأُدْخِلَ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ.
Dari Ibnu Sirin, ia berkata, saya bersama Anas bin Malik pada suatu jenazah, lalu ia memerintahkan jenazah itu agar dimasukkan ke dalam kubur dari arah kaki kubur. (HR Ibnu Abi Syaibah)
o Tidak ditembok atau dibangun di atasnya
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Dari Jabir, Rasulullah saw melarang untuk mengkafur (dicat) kuburan, diduduki, dan dibangun di atasnya. (HR Muslim)
o Tidak ditulisi tulisan apapun
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ أَوْ يُجَصَّصَ زَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ
Dari Jabir, Rasulullah saw melarang untuk membangun di atas kuburan, atau ditambah di atasnya, dikapuri, atau ditulisi di atasnya. (HR an-Nasai)
e. Tidak Boleh Menguburkan Jenazah Di Rumah
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Dari Jabir, ia berkata ; Rasulullah saw bersabda : Jadikanlah sebagian shalat-shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian, dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan. (HR Abu Daud)
f. Tidak Boleh Mengubur Dalam Tiga Waktu
Yang dimaksud dengan tiga waktu adalah ; ketika matahari pas terbit, ketika matahari tengah-tengah sebelum zawal (tergelincir), dan ketika matahari hendak gurub (beberapa saat sebelum waktu magrib).
Tiga waktu yang Rasulullah saw melarang kami untuk melakukan shalat padanya dan melarang kami untuk menguburkan jenazah ; yakni ketika matahari benar-benar muai terbit sebelum tinggi, ketika matahari di atas (tengah-tengah) sebelum condong sedikitpun, dan ketika matahari beberapa saat sebelum magrib. (HR Muslim)
g. Ukuran Kuburan
Dari seorang laki-laki anshar, ia berkata, kami keluar mengantar jenazah, maka Rasulullah saw duduk di dekat galian dan mulailah beliau mewasiati penggali kubur seraya berkata, lapangkanlah dari arah kepalanya dan lapangkanlah dari arah kedua kakinya, mudah-mudahan ia pun dilapangkan di surganya. (HR Abu Daud)
h. Liang Lahat
Dari Amir bin Saad, ia mengatakan, bahwasanya Saad telah berkata, nanti buatkanlah liang lahat untukku dengan sebaik-baiknya dan tancapkanlah dengan sebaik-baiknya sebuah ubin sebagaimana telah dilakukan untuk kuburan Rasulullah saw. (HR Ahmad, Muslim, An-Nasai)
i. Orang Yang Menguburkan
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, waktu aku memandikan jenazah Rasulullah saw aku perhatikan sebaik-baiknya jenazah beliau itu, namun aku tidak melihat sesuatu apapun. Beliau tetap baik pada saat telah wafatnya dan juga pada waktu hidupnya. Yang menguburkan dan menutui kuburan beliau waktu itu hanyalah Ali bin Abu Thalib, Al-Abas, Fadhl dan Saleh pembantu Rasulullah saw dan dibuatkan liang lahat untuk beliau serta ditancapkan batu di atasnya. (HR abu Daud, Al-Baihaqi, Al-Hakim)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ مِتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ –احمد-
Dari Siti Aisyah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : “Kalau kamu mati sebelumku, aku yang akan memandikanmu, mengkafanimu, menshalatimu, dan menguburkanmu.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Daraquthni)
Dari Anas bin Malik, ia berkata, kami turut menyaksikan prosesi penguburan anak perempuan Rasulullah saw dan beliau duduk di pinggir kuburan, dan saya melihat kedua mata beliau berlinang. Beliau bersabda, adakah di antara kalian yang tidak bersetubuh pada malam hari tadi ? Abu Thalhah berkata, Aku wahai Rasulullah. Rasulullah saw bersabda, Turunlah. Anas berkata, Maka Abu Thalhah turun ke kuburnya dan dialah yang menguburkannya. (HR Ahmad, Bukhari dan Baihaqi)
j. Cara Memasukkan Jenazah
Dari Abu Ishaq, ia berkata : Haris telah berwasiat agar Abdullah menyalatkannya. Kemudian dia menyalatkannya, kemudian memasukkan ke dalam kuburan dari arah dua kaki kuburan. Dan dia (Abdullah bin Yazid) berkata : Cara ini adalah dari sunah Rasulullah saw. (HR Abu Daud 3211)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي الْقَبْرِ فَقُولُوا بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu Umar, dari Rasulullah saw, ia berkata : Bila jenazah dimasukkan ke liang lahad (kubur) beliau membaca : "bismillahi wa 'ala millati rasulillah". (HR al-Khomsah, kecuali An-Nasai, Nail 4/86)
Cara penguburan ; masuklah bertiga ke dalam kuburan, kemudian pasaran diletakkan di sebelah barat kuburan. Bila pasaran tertutup, bukalah perlahan-lahan, lalu angkat jenazah sedikit dan miringkanlah ke arah kuburan dan yang di kuburan menerimanya dengan tangannya, agar tidak jatuh sambil membaca "bismilahi wa 'ala millati rasululillah". Setelah itu masukkanlah kedua kakinya terlebih dahulu dibarengi dengan memasukkan badannya, miring menghadap kiblat. Buka tali pengikatnya, supaya tidak berguling bantulah dengan bantalan yang terbuat dari tanah, setelah itu tutuplah dengan kayu atau bambu (padung) yang letaknya miring, kemudian tutuplah dengan tanah dengan tertib.
Rasulullah saw bersabda : "Tutuplah wajah-wajah jenazah kalian, dan janganlah menyerupai kaum Yahudi." (HR Ath-Thabrani)
& SETELAH USAI MENGUBUR JENAZAH
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
Dari Usman bin Afan, ia berkata : Bila Rasulullah saw usai mengubur jenazah, beliau berdiri menghadap kuburan, kemudian berkata ; Kalian hendaklah meminta ampun untuk saudara kalian ini, mintalah ketetapannya, sebab sekarang juga jenazah ini akan ditanya. (HR Abu Daud 3221)
Bila telah usai menguburkan jenazah, berdirilah seorang di antara yang hadir itu, kemudian meminta kepada hadirin untuk berdoa masing-masing dalam hati, tidak perlu bersama-sama apalagi dengan suara keras. Setelah berdoa masing-masing bubarlah dengan tertib, tidak ada acara apa-apa lagi.
0 Comments:
Posting Komentar